Tanggapan atas tulisan Gus Ulil Abshar-Abdalla berjudul Islam Nusantara Sebagai ‘Cosmopolis’: Sejumlah Kritik dan Eksplorasi Teoretis
Oleh: Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.
Islam yang progresif belum tentu langsung bisa disebut kiri. Sebab dewasa ini di Nusantara, mulai banyak bermunculan kelompok-kelompok Islam yang awalnya membid’ahkan demonstrasi kini juga mulai ikut-ikutan demo, dan itu sudah pasti merupakan arahan dari pemimpin kelompok. Tetapi tujuan mereka bukan untuk membela kaum tertindas, melainkan untuk apa yang mereka sebut “umat” dalam tafsir tertentu.
Umat dibatasi pada orang Islam saja, entah kelas elit, menengah, maupun melarat. Umat di sini berkedudukan sebagai “identitas”. Jadi, pemegang KTP Islam yang tidak berseberangan dengan mereka itulah yang dibela.
Sedang kiri, kalau kita konsisten dengan asal istilah itu, adalah sesuai dengan pembagian posisi duduk parlemen Prancis semasa revolusi. Ciri utama kiri adalah pembelaan terhadap rakyat tidak dibatasi oleh agama. Bisa jadi disebut dengan istilah “umat”, tetapi umat dalam pengertian di zaman Nabi Muhammad (saw.) yang berada di bawah naungan piagam madinah. Yaitu terdiri dari orang mukmin dan ahlu zimmah (non-muslim yang dilindungi).
*
Pada akhirnya, Islam Nusantara Garis Kiri juga adalah suatu identitas, yang sesungguhnya tidak dapat diabaikan. Jika Islam Nusantara dikehendaki menjadi istilah yang benar-benar objektif mewakili gambaran umat Islam yang berada di dataran Nusantara, mestinya juga memperluas horizon dengan memberi ruang kepada model yang lain. Agar Islam Nusantara yang kita ketahui bukan sebatas Islam ala NU, melainkan benar-benar mewakili Islam di Nusantara.
Palu (29.06.2021)
Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd., Ketua Umum Pimpinan Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah.
Baca juga Bagian I, Bagian II, Bagian III, dan Bagian IV