Islam Nusantara Garis Kiri (Bagian II)

Penulis Tadbir
04 January 2023

Tanggapan atas tulisan Gus Ulil Abshar-Abdalla berjudul Islam Nusantara Sebagai ‘Cosmopolis’: Sejumlah Kritik dan Eksplorasi Teoretis

Oleh: Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.

Tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi narasi yang dibangun oleh Gus Ulil, melainkan menawarkan semacam terminologi lain bagi Islam Nusantara, bahwa identitas Islam Indonesia tidak selamanya kalem dan berorientasi membela kelompok.

Ada beberapa bagian dari sejarah yang mengungkapkan adanya warna Islam yang sama sekali lain, yang berkembang di Nusantara, dan itu bisa dibilang turut menentukan jalannya sejarah bukan hanya bangsa, tetapi juga umat Islam secara spesifik. Saya menyebut mereka “Islam Nusantara Garis Kiri”.

Islam Nusantara, singkatnya adalah Islam di Nusantara (dataran Indonesia-Melayu), dengan pelbagai kekhasannya, tradisi-tradisinya, sikap-sikap moderatnya dan lain sebagainya. Hanya saja, konsen Garis Kiri ini adalah memperjuangkan nasib kaum marjinal dari posisinya sebagai orang Islam.

Islam Nusantara (yang ada), dalam hal keberpihakan, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan lawan-lawannya–lawan di sini yang saya maksudkan adalah yang sering menolak gagasan Islam Nusantara. Jika kaum Salafi-Wahabi membela kelompoknya, Islam Nusantara juga membela kelompoknya: siapa saja yang setuju atau menjalankan Islam sesuai dengan Islam Nusantara, walau itu tidak diakui secara terang-terangan.

Walau–dalam kesempatan lain–Gus Ulil mengutip secara lisan Gus Yahya Cholil Staquf bahwa Islam Nusantara jika didefinisikan secara final, maka konsekuensi yang akan lahir adalah jami’ dan mani’; akan ada yang termasuk di dalam definisi dan yang di luar definisi. Namun secara tidak sadar penegasan Islam Nusantara berarti pula penegasan sesiapa yang tidak termasuk Islam Nusantara.

Misalnya, apakah wahabi di Nusantara termasuk Islam Nusantara? Kan, tidak! Hal ini karena definisi Islam Nusantara bukanlah secara otomatis adalah kelompok Islam mana saja yang lahir dan berkembang di Nusantara bisa menjadi Islam Nusantara. Hal yang menentukan dari definisi itu adalah tri sikap yang telah disebutkan terdahulu (tawassuth, tawazun, dan tasamuh), serta mengakui atau menjalankan tradisi keislaman lokal yang diajarkan oleh ulama Nusantara terdahulu.

Titik tekan Islam Nusantara bukanlah terletak pada Nusantara sebagai wilayah secara geografis, melainkan pada identitasnya, sesuai dengan kelompok mana yang mengembangkannya, dan karenanya perlahan definisi Islam Nusantara adalah identik NU. Betapapun kita berusaha memasukkan kelompok modernis, rasanya kurang “Nusantara”.

Hal yang terpenting sesungguhnya Islam Nusantara berdiri untuk umat. Peneguhan identitas kemusliman dimaksudkan untuk pembelaan kepada umat Islam yang sudah akrab dengan tradisi-tradisi Nusantara. Tradisi-tradisi itu sendiri memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap sumber-sumber Islam klasik, pengusaan tata bahasa Arab yang baik, serta kemampuan dalam mengartikulasikannya di tengah-tengah masyarakat.

Adapun penambahan embel-embel Garis Kiri, saya mengacu pada dua buku (jika Gus Ulil di awal-awal makalahnya menyebut dua buku, saya juga melakukan hal demikian). Pertama, buku “Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1918 – 1924” oleh Dr. Syamsul Bakri. Kedua, buku “Muslim Tanpa Masjid” karya Kuntowijoyo. Buku yang pertama menampilkan Islam revolusioner, lahir di Nusantara, demi rakyat Nusantara terjajah, tertindas oleh kolonialisme, yang mayoritasnya adalah umat Islam, dengan tokoh sentral Haji Misbach.

Namun sayangnya, akibat luka sejarah antara kaum komunis dengan umat Islam berakibat “komunis” di kemudian hari menjadi kata-kata kotor. Haji Misbach menyebut gerakannya adalah “Komunisme Islam”, waktu itu belum ada pengertian kompleks apa itu komunisme. Haji Misbach melihat gerakan komunis berpihak kepada rakyat pribumi dan melawan kapitalisme kolonial, dan juga pribumi ningrat, yang cenderung menjilat pada kekuasaan kolonial.

Namun yang digaris bawahi di sini, komunisme yang diambil oleh Haji Misbach adalah dimensi keberpihakannya terhadap pribumi tertindas, bukannya mengambil sekalian dengan keateisannya. Kemungkinan besar pada saat itu belum ada istilah lain yang bisa menggantikan kata “komunisme” (semisal Islam revolusioner, Islam kosmopolit, Islam Alternatif, dll.), dan kemudian diterima begitu saja.

Jika Haji Misbach terlalu ekstrim dengan memakai istilah Komunisme Islam, H.O.S. Tjokroaminoto lebih moderat dengan menggunakan istilah Sosialisme Islam. Bahwa sosialisme sejati sesungguhnya terdapat pada ajaran Islam: kritik atas mental kapitalisme (Q.S. at-Takatsur: 1 – 8) dan keberpihakan terhadap kelompok mustad’afien (Q.S. al-Ma’un: 1 – 3).

Sosialisme dan Komunisme adalah dua istilah angker saat ini. Mungkin karena bayang-bayang pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan Gestapu 1965. Namun konteks kedua istilah ini pada zaman Misbach dan Tjokro tidaklah memiliki makna “yang ateis”. Sekali lagi, penekanannya pada pembelaan terhadap kaum pribumi marjinal oleh kolonialisme Belanda.

Oleh karena adanya keberpihakan itu, maka ciri sosialime atau komunisme Islam lebih merupakan suatu gerakan, namun digerakkan atas nama Islam. Jika membandingkan dengan Revolusi Iran di tahun 1979, di sana tak ada kata-kata Komunisme. Yang ada adalah Sosialisme Islam oleh Ali Syariati yang wafat dua tahun sebelum revolusi.

Kemudian buku yang kedua adalah Muslim Tanpa Masjid karya Kuntowijoyo, menampilkan sekelompok anak muda Islam yang tidak terasosiasikan ke masjid mana; kelompok mana, tetapi punya kesadaran atas nama Islam melakukan gerakan membela rakyat Indonesia (Nusantara) yang telah ditindas oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Mereka waktu itu berseberangan dengan arus utama umat Islam yang melalui representasi ICMI bersepakat mendukung B.J. Habibie. Oleh Muslim Tanpa Masjid, Habibie masih menyimpan mental Orba. Namun, demi umat, Muslim Tanpa Masjid mengalah.

Mereka adalah sekelompok umat Islam yang tidak berasal dari tradisi pesantren. Kuntowijoyo malah dengan suatu penegasan menggambarkan bahwa kelompok ini lebih banyak mengkaji Islam dari sumber-sumber anonim (buku, kaset-kaset, dan diktat-diktat) yang menginspirasi mereka untuk menjadi revolusioner. Yang mereka kerjakan lebih kepada Islam aktual, ketimbang hanya ritual.

Di kemudian hari, model-model semacam ini tetap saja muncul, utamanya di kalangan anak muda (belakangan diikuti pula oleh kelompok-kelompok Islam yang awalnya mengharamkan demonstrasi), mahasiswa, atau pelajar. Spirit dari mereka belajar Islam bukannya membuat mereka menjadi cendekiawan, ulama, ustaz, atau tokoh-tokoh relijius. Tetapi Islam membuat mereka senantiasa berpikir untuk selalu mengenali bentuk-bentuk penindasan; Islam menjadikan mereka bergerak menuntut revisi undang-undang yang merugikanSaeful Ihsan, S.Pd., M.Pd., Ketua Umum Pimpinan Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah. rakyat; Islam menjadikan mereka meneriakkan ketidakadilan dan rongrongan terhadap demokrasi; Islam yang membuat mereka berteriak di tengah jalan atau di koran-koran untuk melawan korupsi.

Keterkaitan gerakan Haji Misbach dengan Muslim Tanpa Masjid adalah sama-sama berangkat dari kajian terhadap Islam, berpihak pada kaum marjinal, kemudian mengaktualisasikannya di jalanan, lewat mimbar bebas, koran, maupun advokasi. Lagipula keduanya lahir dari pergolakan bangsa, lahir di bumi Nusantara, dan tetap eksis menjadi bagian dari umat Islam di Indonesia.

Palu (29.06.2021)

Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd., Ketua Umum Pimpinan Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah.

Baca juga Bagian I, Bagian III, Bagian IV, dan Bagian V

Bagikan