Tanggapan atas tulisan Gus Ulil Abshar-Abdalla berjudul Islam Nusantara Sebagai ‘Cosmopolis’: Sejumlah Kritik dan Eksplorasi Teoretis
Oleh: Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.
Kiri belum tentu komunis. Golongan kiri pada awalnya dialamatkan kepada parlemen Prancis selama masa revolusi (1788 – 1798) yang membela kepentingan rakyat kecil dan kaum miskin. Mereka duduk di sebelah kiri. Sedang bagi yang membela kepentingan kaum kelas atas, mereka duduk di sebelah kanan.
Pada perkembangannya siapa saja yang membela kaum miskin, kaum buruh, serta golongan rakyat kecil lainnya disebut kaum kiri. Sepanjang sejarah, kelas itu selalu mendapat perlakuan yang diskriminatif. Olehnya itu, memperjuangkan nasib mereka seringkali menggunakan cara-cara yang progresif.
Gerakan komunisme adalah salah satu di antaranya. Soviet adalah bentuk pembelaan kepada kaum buruh dalam skala yang amat besar, dalam bentuk revolusi sistem ketatanegaraan. Hanya saja Soviet menjadi contoh yang buruk, pada akhirnya kediktatoran kapitalisme digantikan oleh diktator proletariat, faktor utama yang membuat rezim komunis Soviet berumur pendek.
Kini, gerakan pro-demokrasi juga berhaluan kiri, namun bukan komunis. Budiman Sudjatmiko menegaskan itu dalam bukunya “Anak-Anak Revolusi (jilid 1)”. Di Indonesia ada Partai Rakyat Demokratik (PRD), mereka konsen dalam advokasi masalah-masalah yang menimpa rakyat di tanah air, juga pelbagai LSM, NGO, OKP yang berciri sama: pro-demokrasi.
Secara filosofis, dalam The End of History, Francis Fukuyama membedakan prinsip demokrasi dengan komunisme, sesungguhnya keduanya berlawanan. Jika komunisme cenderung kepada pembatasan bahkan pencabutan kebebasan menggunakan hak-hak pribadi. Demokrasi justru mengedepankan kebebasan itu sendiri. Sepintas ada anomali di sini, yaitu mengejar suatu kondisi di mana kebebasan dengan mudah diraih, namun di saat yang sama perlunya pembatasan terhadap kebebasan kapitalisme melakukan eksploitasi.
Jadi jelaslah, pro-demokrasi bukanlah komunisme, tetapi keduanya sama-sama kiri, yaitu progresif dan berpihak kepada kaum termarjinalkan.
Komitmen pembelaan terhadap rakyat kecil di sini tidaklah cukup dalam bentuk derma, yaitu memberikan sebagian kelebihan harta yang dipunyai untuk meringankan beban mereka. Tetapi juga mesti dengan pengorbanan waktu, pikiran, tenaga untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil melalui pressure terhadap kebijakan pemerintah melalui undang-undang, advokasi, pembelaan hak-hak serta mediasi, hingga bantuan hukum, agar tidak hanya memenangkan para pengusaha, elit penguasa, lalu merugikan rakyat kecil.
Derma hanya akan sedikit menjanjikan jangka pendek, tetapi setelah itu, ketimpangan sosial tetap terjadi berkepanjangan akibat sistem rusak yang dibiarkan begitu saja.
Palu (29.06.2021)
Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd., Ketua Umum Pimpinan Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah.
Baca juga Bagian I, Bagian II, Bagian IV, dan Bagian V