CERMINKU ADALAH COKROAMINOTO (Soekarno)
- AWALNYA
Sabtu, 14 Desember 2024 pukul 14.32 mas Fadhir, Koordinator Nasional Pengurus Pusat Aktivis Peneleh menulis di whatsapp grup sekretariat Peneleh, bahwa dirinya dan mas Aang, Kepala Lembaga Pelatihan Jang Oetama Aktivis Peneleh, telah sampai di depan rumah. Bergegas saya mengunci semua pintu rumah dan menuju depan rumah. Berangkatlah kami bertiga menuju Blitar, tempat di mana adik-adik Aktivis Peneleh Regional Blitar bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional Bung Karno mengadakan acara peluncuran Kelas Pemikiran Guru Bangsa. Jadwalnya pukul 19.00 WIB sampai selesai. Pembicaranya adalah Pak Budi Kastowo, pustakawan Perpusnas Bung Karno, Pak Ferry Riyandika, pegiat sejarah dan budaya, dan saya sendiri; dengan dimoderatori oleh aktivis sejarah dan budaya muda dari Blitar, mas Ahmad Fahrizal Aziz, yang juga sebagai Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Blitar.
Kami sampai di Blitar kota sekitar 18.30 dan mampir ke Ayam Geprek di dekat Perpusnas. Sekalian makan malam, kami juga bergantian untuk shalat jama’ maghrib dan isya. Tak berselang lama, datang mas Deo, Koordinator Regional Pengurus Pusat Aktivis Peneleh, dan mas Billy, salah satu aktivis Regional Blitar. Mas Deo memang sudah sejak hari kamis berada di Blitar membantu kawan-kawan Regionali Blitar untuk menyiapkan acara tersebut. Kami makan bersama sembari menunggu informasi acara dimulai. Sepertinya sih, acaranya molor, karena setelah mas Deo dan mas Billy meluncur duluan ke lokasi acara, dan memberitahukan bahwa kemungkinan acara akan berlangsung mulai 20.00. Biasalah itu, kegiatan aktivis hampir tak luput dari kemoloran jadwal. Apalagi hari itu kan malam minggu, biasa deh anak muda.
Pukul 19.45 kami meluncur ke lokasi yang hanya berjarak sekitar 200 meter. Sesampai di lokasi, sudah hadir dua pembicara, moderator dan banyak peserta yang mengikuti acara. Sekitar 50-an peserta. Lumayan untuk kegiatan seperti ini, kegiatan yang mulai jarang diminati anak muda, apalagi aktivis. Peta memang berubah. Aktivis hari-hari ini memang lebih dekat dengan proyek-proyek yang ada duitnya atau ada relasi kuasa seperti pilkada atau pilpres misalnya.
- KEGADUHAN POLITIK HARI INI (Komentar Selingan)
Kegaduhan politik yang ikut menghinggapi para aktivis ini tidak lepas dari makin tidak independennya mereka, organisasi massa dan mahasiswa, dengan alumni dan senior yang telah banyak duduk di lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif, bahkan yudikatif, maupun lembaga lainnya seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan lainnya. Bahkan info yang beredar dan telah menjadi hal yang lumrah, siapapun yang ingin jadi anggota DPR level kota/ kabupaten, propinsi, maupun pusat, menteri, bupati, walikota, gubernur, direksi-komisaris BUMN, lembaga-lembaga tinggi negara, hingga jabatan tertinggi lainnya seperti Presiden, Wakil Presiden, Ketua ini dan itu, pasti relasi antara partai politik dengan organisasi massa tertentu, termasuk KPU dan Bawaslu menjadi kunci. Ya, keberhasilan mereka duduk di tempat basah dan strategis tersebut adalah bagian dari nepotisme demokrasi kita hari ini. Tarik menarik kepentingan DPR, KPU, dan Bawaslu sudah lazim, tidak ada itu independensi, semuanya terelasi dengan siapa duduk di lembaga-lembaga politik strategis. Belum lagi jejaring bandar, bisnis besar semacam tambang, perusahaan-perusahaan swasta strategis dalam proyek-proyek yang punya ketergantungan politik pasti akan siap-siap menggelontorkan pelumasnya, demi sang “cantrik politik” untuk duduk di berbagai lembaga. Dan, aktivis organisasi massa yang “masih hijau” sepertinya sudah ditarik dan tertarik dengan mekanisme yang benar-benar telah mencederai demokrasi negeri. Jangan harap duduk di kursi politik basah apabila kita tidak punya relasi dan menjalin pragmatisme komunikasi politik di lingkaran setan nepotisme. Belum lagi nanti kalau sudah mulai kampanye dan coblosan, kalian jangan berharap bahwa politik kita mulus sebagaimana teori. Politik Uang pasti berseliweran tanpa henti. Yang apes aja yang kena gerebek, mayoritas? Who Knows? Astaghfirullah. Semoga ini tidak benar. Yakin?
- POST-TRUTH
Anehnya, simbol-simbol Demokrasi Tanpa Uang, Tidak Golput Selamatkan Demokrasi, dan bla-bla-bla, sepertinya abal-abal politik deh. Simbol-simbol itu memang telah menjadi apa yang Steve Tesich dalam tulisannya di majalah The National berjudul The Government of Lies, bahwa kebenaran yang benar itu adalah hasil konstruksi penguasa yang disebutnya sebagai Post-Truth telah menjadi kenyataan. Karena memang, framing oleh Penguasa itulah Kebenaran Sejati.
- GOLPUT
Wajar bila kemudian masyarakat yang tidak perlu tahu dengan teori-teori ndakik-ndakik semacam Post Truth setelah melihat gaya kongkalikong yang dihadirkan lewat kebohongan-kebohongan publik yang menyolok di depan mata memuncak di Pilkada 2024. Bagaimana tidak, DKI saja yang biasanya menjadi sentral dan barometer politik nasional ternyata golputnya mencapai 46,95% atau sekitar 4,3 juta orang yang tidak ke TPS untuk nyoblos. Bandingannya, tahun 2017 cuma 23%. Meningkat dua kali lipat. Artinya sudah tahukan sebenarnya siapa pemenang Pilgub DKI kali ini? Uniknya adalah propinsi yang jadi tempatnya Ibukota baru, IKN, yaitu Kaltim, juga menunjukkan angka golput yang juga tinggi, yaitu 42,85%. Di Jawab Barat, golput mencapai 13,7 juta orang atau sekitar 38,21%. Banten juga, mencapai 38,41% atau sekitar 3,4 juta. Di Kabupaten Malang, tempat saya tinggal juga tinggi, 40%. Seru ya?
- DISKUSI GURU BANGSA UNTUK POLITIK YANG SUCI
Oke, kembali ke urusan Diskusi Guru Bangsa, Sang Proklamator, Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno aja deh. Jadi, acara beneran dimulai jam 20.00. Menariknya adalah memang Sang Proklamator Soekarno (bersama Hatta tentunya) yang merupakan sentral kemerdekaan itu, diungkapkan oleh Pak Budi sang pustakawan, telah memikirkan konsep Pancasila jauh sebelum 1 Juni 1945, saat beliau menggagas Pancasila. Menurut beliau, konsep Pancasila telah dipikirkan bukan hanya sejak 1927, tetapi sejak 1918 pada saat beliau di Peneleh.
Sayapun kemudian menegaskan wajar konsep Pancasila itu sudah ada sejak 1918, karena memang pemikiran Pak Karno sangat mirip dengan pemikiran Pak Cokro, HOS Tjokroaminoto, tentang Indonesia, tentang Nasionalisme dan gagasan kemerdekaan Indonesia. Wajar pula apabila Pak Karno dalam pengantarnya di buku Biografi HOS Tjokroaminoto karya Amelz mengatakan “Cerminku adalah Cokroaminoto”. Pak Karno memang sejak 1916 digembleng khusus sebagai kader yang dipercayai oleh Pak Cokro yang akan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan. Hal itu disampaikan oleh Pak Cokro pertama kali pada saat bertemu dengan Koesno, Soekarno Muda, di rumah Raden Soekemi, sang ayah Soekarno, di Blitar tahun 1914.
Ceritanya, setelah vergaadering (rapat umum) Sarekat Islam di lapangan alun-alun kota Blitar yang dihadiri ribuan kader dan simpatisan, Pak Cokro menuju Pondok Pesantren Jatinom dan berbincang bertiga dengan KH. Imam Bukhori, pengasuh Pondok Jatinom dan Raden Soekemi. Hingga kini saksi mata yang ada hanya tinggal meja dan kursi tempat mereka duduk, dan masih ada di pondok pesantren tersebut. Perbincangan antara Pak Cokro dan Raden Soekemi berlanjut ke rumah Istana Gebang. Mereka berbincang banyak hal, salah satunya adalah tentang bagaimana merdeka dari kolonial. Malam hari pada saat mereka berdua sedang asyik ngopi dan berbincang, lewatlah Koesno.
“Siapa itu?” Tanya Pak Cokro. “Oh itu Koesno, anakku. Koesno, kemarilah, ini Pak Cokro, sungkem dulu.” Jawab Raden Soekemi.
Setelah sungkem, Pak Cokro, yang dihormati Belanda hingga dijuluki De Ongkronde Koning van Java, Raja Jawa Tanpa Mahkota itu seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Beliau yang selama ini merasa sebagai pemimpin Sarekat Islam dan percaya akan menjadi pemimpin nasional nantinya. Ada yang berbeda dengan anak ini, batin Pak Cokro.
“Kapan lahirnya Koesno?” tanya Pak Cokro lagi. “Dia lahir saat gunung Kelud meletus.”
Terkejut yang kedua kalinya, Pak Cokro, akhirnya dalam batin menyatakan bahwa inilah pemimpin yang ditunggu-tunggu itu, inilah sang Ratu Adil yang sebenarnya. Pak Cokro kemudian meminta Raden Soekemi nanti setelah Koesno lulus sekolah menengah agar ikut beliau ke Surabaya untuk dididik dan dikader sebagai pemimpin. Tahun 1916 setelah lulus, Pak Karno diantara Raden Soekemi ke Surabaya melanjutkan sekolah.dan tinggal bersama Pak Cokro di Rumah Peneleh. Dari Rumah Peneleh-lah kemudian Pak Karno belajar banyak hal mengenai organisasi, kepemimpinan, orasi, membaca buku, dan segala yang dibutuhkan kemudian untuk menjadi pemimpin nasional.
Diskusi lain juga tak kalah menarik. Salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Pak Ferry mengenai pertemanan antara adik Pak Cokro, Abikoesno Tjokrosujoso dengan ayah dari Soedantjo Supriyadi, pejuang Peta Blitar, Raden Rahmadi sekitar tahun 1927. Pertemuan mereka berdua di Kediri, pada saat itu Pak Abikoesno sebagai Ketua Sarekat Islam Kediri, sedangkan Raden Rahmadi sebagai Asisten Jaksa. Saling membantu mereka berdua adalah pada saat terjadi gadung pemberontakan PKI yang digerakkan Sarekat Rakjat di Kediri. Informasi pentingnya adalah ternyata tema tentang Ratu Adil sangat kental di masa-masa itu. Salah satu buktinya adalah Pak Abikoesno membuat majalah mingguan bernama Djojobojo (baca: Joyoboyo). Data mengenai itu, terimakasih kepada Pak Fery yang telah mengirimkan pdf-nya, dari buku biografi Abikoesno Tjokrosoejoso: Hasil Karya dan Pengabdiannya karya Drs. Suratmin, halaman 36 (1982/1983).
Begitulah, diskusi malam hari itu. Gayeng, karena semuanya tidak dalam kerangka politiking, tetapi semua bersemangat untuk mendudukkan politik pada porsi yang sejati yang bersih, suci, dan untuk kejayaan negeri ini. Diskusi berakhir pukul 22.00 dan kami berfoto bersama dengan beberapa peserta.
- PEMBERHENTIAN SEMENTARA
Politik akan bersih dan suci karena digagas dan diturunkan dari kebersihan serta kesucian hati dengan kekuatan budaya Nusantara dalam bingkai Religiositas. Wajar bila Pancasila menegaskan di awal untuk menjadi landasan semuanya, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bersih dan sucinya politik dapat dihadirkan karena kecerdasan pikiran dan hati sehingga membentuk manusia yang beradab, seperti sila kedua Pancasila menegaskannya Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Begitulah politik yang bersih dan cerdas semestinya hadir untuk Persatuan Indonesia dalam kerangka Syuro dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pak Cokro menyatakan: “Sebersih-bersih Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, Sepintar-pintar Siasat”.
Semoga, dan saya masih bersemangat karena kehadiran para anak muda yang masih peduli dengan kekuatan negeri ini, kejayaan negeri ini. Karena merekalah yang disebut sejarawan Toynbee: A Tiny Creative Minority, sekolompok orang yang sedikit dan kreatif yang akan akan membawa peradaban lebih baik di masa depan. Insya Allah.
Billahi fi Sabilil Haq, Isy Kariman Aumut Syahidan
Penulis : AJI DEDI MULAWARMAN
Diterbitkan Oleh ajidedim