Oleh: Ahmad Abdul Basyir, S.E.
Zaman semakin edan! Semua manusia menikmati zaman ini yang penuh dengan kejahilan, ya kejqhiliahan yang bertransformasi dalam bentuk dan sifat modern.
Manusia rapuh dan luluh pada hiasan-hiasan dunia. Mereka memandang dunia dengan keelokan parasnya. Padahal mereka sedang terbuai dalam belenggu kezaliman yang dilaknat oleh Allah Swt.
Lantaran itu, S.M. Kartosuwiryo sang proklamator Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1948 mengatakan, “Ikutilah zaman ini yang beredar secepat kilat. Kejarlah waktu dan janganlah biarkan waktu mengejar-ngejar kita.”
Namun apa yang terjadi? Manusia terlena dengan keadaan dunia fana ini. Pada akhirnya waktu mengejarnya. Kenapa demikian? Karena, mereka tak menegakkan kalimat tauhid, ‘Lailahaillalah, Muhammadur rasulullah’.
“Gunakan setiap saat dan detik untuk menunaikan perang menegakkan Kalimullah, dalam bentuk dan sifat apa dan di manapun. Ketahuilah! Sekali lampaui, maka tak akan kembali lagi”. Tutur kembali Kartosuwiryo.
Kartosuwiryo adalah seorang tokoh yang dieksekusi pada masa orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno –sahabatnya sendiri, karena di anggap memiliki paham Radikalisme.
Untuknya itu, manusia harus menegakkan tauhid, paling tidak mereka harus memegang komitmen sejati atau trilogi dari H.O.S. Tjokrominoto seorang tokoh sekaliber yang diberi gelar ‘raja tanpa mahkota’ oleh kolonial Belanda.
Beliau berkata “Sebersih-bersihnya tauhid, setinggi-tingginya ilmu dan sepandai-pandainya siyasah.”
Maka ketika manusia berpegang pada komitmen ini, kelak ia akan memperoleh kemerdekaan sejati. Mengapa? karena komitmen inilah yang akan mengembalikan manusia kepada esensi dan hakikatnya sebagai hamba yang merendah kepada Sang Pencipta.
“Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepada-Nya.” (Q.s 51:56). Sebab, inilah pengharapan Allah kepada hambaNya.
Tatkala ujung rambut akan sejajar dengan ujung kuku kaki kita, hingga sampai menyentuh bumi. Manusia akan bersyukur kepada Allah dengan kerendahan dirinya.
Manusia sadar dan mengetahui bahwa sang pencipta memberikan limpahan kenikmatan, karunia dan rezeki kepadanya. Tentunya dengan kecukupan.
Inilah firman Allah Swt., “Aku cukupkan kepada kamu kenikmatan lahiriah dan batiniah” (Q.s 31:20). Sementara dunia hanya membutakan manusia.
Tidakkah jauh-jauh hari Buya Hamka mengingatkan kita, “Kalau hidup hanya sebatas hidup, babi hutan juga hidup. Kalau hidup hanya sebatas kerja, Kera juga kerja.”
Seyogyanya ketika manusia menganggap dirinya sebagai makhluk yang mulia. Maka janganlah hinakan dirinya layak seperti binatang.
Manusia adalah hamba yang harus tunduk kepada yang Maha Kuasa. Dengan cara apa? Yakni, “Beruntunglah yang menyucikan jiwanya.” (Q.s 91:09)
Dan jangan manusia menjadi diam bagai penonton saja. karena sesungguhnya Allah mengatakan “Aku mengilhamkan kepada kamu keburukan dan kebaikan.”(Q.s 91:08).
Maka ketika kebaikan itu ada pada diri kita, tak boleh kita diami saja. Sebab, kezaliman akan terus ada.
Bukankah sahabat Rosul, Ali bin Abi Tholib mengingatkan kita bahwa kezaliman terus akan ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Tapi diamnya orang-orang baik.
Pandanglah dunia yang nan elok ini sebagai tempat menanam amal-amal kebaikan. Buatlah lisan ini berujar dengan baik, lalu buatlah hati menyunggukan dan kemudian perbuatan dan tindakan kita menjadi bukti bahwa kita sedang berjuang menegakkan agama Islam.
Ahmad Abdul Basyir, S.E. Pengurus Pimpinan Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kab. Takalar.
Tulisan ini pernah dimuat di Edunews.Id