Refleksi 109 Tahun Deklarasi Zelfbestuur HOS Tjokroaminoto: Menyemai Nasionalisme, Patriotisme, dan Keadilan Sosial di Era Modern

Penulis
12 June 2025

“Tuan-tuan..!! Sungguh besar nama Kongres ini.. Kongres Nasional.. nama ini, perkataan Nasional, tidaklah sekali-kali menunjukkan keangkuhan kaum SI (Sarekat Islam), atau menunjukkan tajamnya pikiran dan luasnya pemandangan pemimpi-pemimpin kongres, tetapi semata-mata hanyalah menunjukkan salah satu dari maksudnya pergerakan, yaitu Berikhtiar akan menaiktangganya Kebangsaan (natie), dan didalam kongres ini yang akan kita bicarakan yaitu: usaha pertama-tama buat membantu supaya Hindia lekas dapat Pemerintahan Zelfbestuur atau sedikitnya penduduk bumiputera lekas diberi hak akan turut bicara dalam perkara Pemerintahan

“Orang semakin lama semakin merasakan, bahwa tidak pantas lagi Hindia diperintah oleh negeri Belanda, bagaikan tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya. Tidak pada tempatnya menganggap Hindia sebagai seekor Sapi Perahan yang hanya diberi makan demi susunya, tidaklah pantas untuk menganggap negeri ini sebagai tempat dimana orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan, dan sekarang sudah tidak pada tempatnya lagi bahwa penduduknya terutama anak negeri sendiri, tidak mempunyai hak turut berbicara dalam soal-soal pemerintahan yang mengatur nasib mereka

“Meskipun jiwa kita penuh dengan harapan dan keinginan yang besar, kita tidak pernah bermimpi tentang datangnya Ratu Adil, atau kejadian yang bukan-bukan yang kenyataannya tidak pernah terjadi. Tapi kita akan terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur akan datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda.. Tuan-tuan jangan takut.. bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan perkataan ZELFBESTUUR atau Pemerintahan Sendiri.”

 

Hari itu, Ahad tanggal 18 Juni 1916, sekitar pukul 08.30 pagi, ditengah sejuknya udara yang menghinggapi arena alun-alun kota Bandung, seorang laki-laki muda berusia hampir 34 tahun, berpakaian rok-kostum, dengan penutup kepala Blangkon khas Jawa, berkumis melentik naik keatas, bergegas menaiki tangga seakan tak sabar segera berdiri diatas panggung. Sesampainya di atas, dengan berdiri tegap penuh aura kewibawaan, pandangan matanya tajam bersinar memancar mengelilingi seluruh penjuru alun-alun yang telah penuh sesak oleh massa peserta Rapat Akbar (Vergadering), yang memang tak sabar menunggu kehadirannya. Terdengar dengan lantang suara berat baritone yang menggelegar sembari mengangkat jari telunjuk tangan kanan kearah puluhan ribu massa yang memadati lapangan alun-alun kota Bandung. Pidato laki-laki muda yang tegar setegar ‘Banteng Nusantara’ telah menggemakan kekuatan dahsyat yang menandai dimulainya kesadaran Pergerakan di Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan Sulawesi, Ambon, bahkan telah merangsek ke seluruh lapisan rakyat seantero Nusantara. Laki-laki itu adalah H.O.S Tjokroaminoto; [cuplikan pidato dan suasana Pembukaan Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam (CSI) yang diselenggarakan di Bandung 17-24 Juni 1916.]

Pada tahun 1916, di tengah gelombang penjajahan kolonial, HOS Tjokroaminoto, tokoh besar Sarekat Islam, mengguncang semangat rakyat Indonesia dengan Deklarasi Zelfbestuur. Deklarasi ini bukan sekadar seruan untuk pemerintahan sendiri, tetapi juga tonggak awal kebangkitan nasionalisme dan patriotisme yang membara. Tidak berlebihan dengan fakta sejarah tersebut peristiwa Zelfbestuur ini merupakan Proklamasi Kemerdekaan Nasional pertama Indonesia (Proklamasi 1.0-Zelfbestuur). Kini, 109 tahun kemudian, pada 2025, kita merenungi kembali makna deklarasi tersebut dalam konteks kekinian: bagaimana nasionalisme, patriotisme, daulat pemerintahan sendiri, dan keadilan sosial tetap relevan ditengah tantangan globalisasi, ketimpangan sosial, dan dinamika politik modern.

 

Zelfbestuur: Api Nasionalisme dan Patriotisme

Deklarasi Zelfbestuur lahir dari keberanian Tjokroaminoto untuk menuntut hak rakyat Indonesia mengatur nasibnya sendiri di bawah cengkeraman kolonial Belanda. Ini adalah pernyataan tegas bahwa bangsa Indonesia bukan hanya objek sejarah, tetapi subjek yang berdaulat. Nasionalisme dalam deklarasi ini bukanlah semangat sempit yang menutup diri dari dunia, melainkan semangat kebangsaan yang menjunjung harga diri dan identitas kolektif. Patriotisme Tjokroaminoto tercermin dari pengorbanannya untuk menyatukan rakyat lintas suku, agama, dan budaya demi satu tujuan: kemerdekaan.

Di tahun 2025, nasionalisme dan patriotisme tetap menjadi pilar penting. Namun, tantangannya kini berbeda. Globalisasi dan arus informasi digital sering kali mengaburkan identitas kebangsaan. Media sosial, misalnya, dapat menjadi alat untuk memperkuat persatuan, tetapi juga bisa memicu polarisasi. Refleksi atas Zelfbestuur mengajak kita untuk menghidupkan kembali nasionalisme yang inklusif, yang merangkul keberagaman Indonesia tanpa terjebak pada chauvinisme. Patriotisme hari ini berarti berkontribusi nyata bagi bangsa, entah melalui inovasi, pelestarian budaya, atau perjuangan melawan ketidakadilan.

 

Daulat Pemerintahan Sendiri: Kedaulatan di Era Modern

Zelfbestuur adalah seruan untuk kedaulatan, sebuah cita-cita agar rakyat Indonesia memiliki kuasa atas masa depannya. Tjokroaminoto memahami bahwa pemerintahan sendiri bukan hanya soal politik, tetapi juga ekonomi dan budaya. Ia menentang eksploitasi ekonomi kolonial yang menyengsarakan rakyat, sekaligus memperjuangkan pendidikan dan kesadaran politik sebagai fondasi kemerdekaan.

Dalam konteks hari ini, daulat pemerintahan sendiri harus dilihat dari perspektif kedaulatan digital, ekonomi, dan lingkungan. Indonesia menghadapi tantangan seperti ketergantungan pada teknologi asing, eksploitasi sumber daya alam, dan ancaman perubahan iklim. Refleksi 109 tahun Zelfbestuur mengingatkan kita untuk memperjuangkan kedaulatan data, misalnya, dengan membangun infrastruktur teknologi lokal yang mandiri. Kedaulatan ekonomi berarti memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia diolah untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan korporasi global. Kedaulatan budaya mengajak kita melestarikan warisan leluhur di tengah gempuran budaya pop global.

 

Keadilan Sosial: Jantung Perjuangan Tjokroaminoto

Salah satu inti dari perjuangan Tjokroaminoto adalah keadilan sosial. Ia menyaksikan bagaimana rakyat kecil, petani, dan buruh dihimpit oleh sistem tanam paksa dan ketimpangan ekonomi. Sarekat Islam, di bawah kepemimpinannya, menjadi wadah bagi rakyat untuk menuntut hak-hak mereka. Keadilan sosial bagi Tjokroaminoto bukan hanya soal distribusi ekonomi, tetapi juga pengakuan martabat setiap individu.

Di tahun 2025, keadilan sosial tetap menjadi isu krusial. Ketimpangan ekonomi masih nyata: laporan Oxfam (2023) menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia memiliki hampir setengah dari kekayaan global, dan Indonesia tidak luput dari pola ini. Kesenjangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan masih menjadi tantangan. Refleksi atas Zelfbestuur mendorong kita untuk memperjuangkan keadilan sosial yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya, melalui pendidikan vokasi yang inklusif, pemberian akses teknologi kepada komunitas terpencil, atau kebijakan yang melindungi pekerja informal di tengah ekonomi digital.

 

Menghidupkan Semangat Zelfbestuur di Masa Kini

Peringatan 109 tahun Deklarasi Zelfbestuur bukan sekadar nostalgia, tetapi panggilan untuk bertindak. Nasionalisme dan patriotisme harus diwujudkan dalam tindakan nyata: mendukung produk lokal, menjaga lingkungan, dan memperjuangkan hak-hak kelompok marginal. Daulat pemerintahan sendiri menuntut kita untuk kritis terhadap narasi global yang merugikan kepentingan nasional, sambil tetap terbuka pada kerja sama internasional. Keadilan sosial mengharuskan kita mendengar suara rakyat kecil, dari petani di desa hingga pekerja migran di kota-kota besar.

HOS Tjokroaminoto, dengan visinya yang jauh ke depan, telah menanam benih perjuangan yang tetap relevan hingga kini. Seperti yang ia katakan, “Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan.” Mari kita jadikan refleksi ini sebagai momentum untuk menghidupkan kembali semangat Zelfbestuur: sebuah bangsa yang berdaulat, bersatu dalam keberagaman, dan tegak di atas keadilan sosial. Dengan begitu, 109 tahun setelah deklarasi itu, kita tidak hanya memperingati, tetapi juga mewujudkan cita-cita Tjokroaminoto dalam kehidupan sehari-hari.

 

Catatan Penutup

Sebagai penutup, mari kita renungkan: bagaimana setiap dari kita, dalam kapasitas masing-masing, dapat menjadi Tjokroaminoto masa kini? Entah sebagai pelajar, pekerja, atau pemimpin, semangat Zelfbestuur mengajak kita untuk tidak hanya bermimpi, tetapi bertindak demi Indonesia yang lebih adil, mandiri, dan bermartabat.

 

Bagikan