Insiden ini berawal dari sebuah kegiatan sosial yang diinisiasi oleh Willie Salim di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB), Palembang, pada Selasa, 18 Maret 2025. Ia dan timnya menggelar acara memasak massal dengan menggunakan satu ekor sapi utuh yang diperkirakan memiliki berat mencapai 200 kilogram.
Masakan tersebut rencananya akan dibagikan kepada warga sekitar sebagai bentuk berbagi kebahagiaan menjelang waktu berbuka puasa. Namun, niat baik tersebut justru berubah menjadi kekacauan ketika, dalam video yang ia unggah, Willie mengklaim bahwa rendang yang sedang dimasak tiba-tiba menghilang saat ia sedang ke toilet.
PALEMBANG KOTA TERTUA DI INDONESIA
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
KONTEN SEBAGAI PENARIK FOLLOWERS MENJADI PETAKA?
- Herman Deru (Gubernur Sumatera Selatan) menduga bahwa Willie Salim sengaja membuat konten tersebut demi meraup keuntungan pribadi.
- “Mako kemarin ada orang ambil konten itu , ai marah nian aku , yang rendang itu ye, memang di sengajoke supayo di rebut uwong , sudah itu kito dikatoinyo. (Kemarin ada orang yang membuat konten itu, saya sangat marah soal konten rendang itu, memang itu disengaja agar orang rebutan, setelah itu kita dihujatnya),” kata Herman Deru usai meresmikan rumah makan di Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (23/3/2025) malam.
- “Saya tidak rela nama Palembang dirusak hanya karena konten daging sepanci. Terlalu terhormat orang Sumatera Selatan, khususnya Palembang hanya karena daging sepanci,” tegas Herman Deru.
- Kapolda Sumsel Irjen Andi Rian R Djajadi buka suara soal kegaduhan konten Willie. Kapolda meminta masyarakat yang merasa dirugikan melapor ke polisi.
- “Menurut saya simpel saja. Kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh konten itu, laporkan saja,” ungkap Kapolda, dikutip dari lamandetikcom, Senin (24/3/2025)
- Ratu dewa selaku Walikota Palembang meminta Klarifikasi Wilie Salim terkait Konten Rendang yang berujung Kegaduhan.
- “Kami minta Willie Salim klarifikasi terkait konten masak rendang yang dugaan setinggan, ceritakan apa yang terjadi jangan sampai ada kesalahpahaman dan spekulasi,” kata Wali Kota Palembang kepada detikSumbagsel, Sabtu (22/3/2025)
- Kepala Dinas Pariwisata Palembang Sulaiman Amin menegaskan bahwa Tiktoker Willie Salim tidak mendapatkan izin saat masak 200 kilogram rendang di kawasan BKB Palembang, Sumatera Selatan
FAKTA HILANG RENDANG 200Kg MENYEBUTKAN SETINGAN ATAU KEBENARAN?
Beberapa kalangan Media sosial hari ini digemparkan oleh Rendang 200Kg dibuat oleh salah satu konten Kreator Terkenal di indonesia Wilie Salim. Yang menjadi perbicangan hangat dikalangan public serta menuai asumsi liar dari seluruh indonesia.
Fakta
- acara memasak massal dengan menggunakan satu ekor sapi utuh yang diperkirakan memiliki berat mencapai 200 kilogram.
- Masakan tersebut rencananya akan dibagikan kepada warga sekitar sebagai bentuk berbagi kebahagiaan menjelang waktu berbuka puasa
- Wilie Salim berbohong lantaran tidak ke toilet tapi ke mobil beberapa Menit
- Sejumlah 7 Personil dari Polsek IB 1 , Tiga Petugas Jaga Mobil , Empat yang ada disekitaran , satu pak rino dan 3 (tiga) Intel Yang berpakaian Bebas
- Setelah menjadi Perbicangan Wilie Salim Mengungkapkan Pernyataan Maaf ke Public melalui Media Sosial
MASALAH SOSIAL DAN EKONOMI
Ramadhan datang dengan cahaya spiritual yang seharusnya membawa kedamaian dan keseimbangan sosial. Namun, di negeri ini, bulan suci juga menjadi panggung bagi orkestrasi kemiskinan, sandiwara kesalehan yang dijalankan oleh sistem yang melanggengkan ketimpangan.
Setiap Ramadhan, narasi tentang kepedulian sosial dikumandangkan. Zakat, sedekah, dan program bantuan dipromosikan seolah menjadi solusi struktural bagi kemiskinan.
Sementara itu, realitas di balik layar tetap sama: harga bahan pokok melonjak, kebutuhan dasar semakin sulit dijangkau, dan rakyat miskin tetap menjadi objek belas kasihan, bukan subjek yang diberdayakan.
KEMISKINAN YANG DIKELOLA, BUKAN DIHAPUSKAN
Negara seharusnya hadir untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya, bukan sekadar mengatur mekanisme bantuan yang sifatnya karitatif. Tapi apa yang terjadi?
Kemiskinan bukan lagi masalah yang ingin diselesaikan, melainkan komoditas yang dikelola.
Harga pangan melonjak menjelang Ramadan, sementara kartel dan spekulan menikmati keuntungan.
Bantuan sosial dijadikan alat politik, bukan kebijakan jangka panjang untuk menghapus kemiskinan.
Para elit mendistribusikan zakat dan sedekah sebagai pencitraan, bukan sebagai langkah nyata untuk memperbaiki sistem ekonomi yang timpang.
Ketidakadilan ekonomi ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari sistem yang secara sadar membiarkan jurang kaya-miskin semakin dalam.
KESALEHAN YANG DIKAPITALISASI
Di tengah Ramadhan, di saat rakyat kecil harus berhitung setiap rupiah untuk berbuka puasa, pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan promosi gaya hidup konsumtif.
Iklan menjejali kesadaran publik, mengubah makna Ramadan dari bulan refleksi menjadi ajang belanja besar-besaran.
Sementara itu, para pemodal menikmati keuntungan dari kapitalisasi ibadah. Bank-bank menawarkan kredit konsumtif, bisnis pariwisata menjual “pengalaman Ramadhan”, dan korporasi besar memanipulasi kesadaran spiritual untuk mendongkrak penjualan.
Lalu di mana peran negara?
Bukankah Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk memastikan distribusi keadilan ekonomi?
RAMADHAN TANPA KEADILAN ADALAH IBADAH YANG HAMPA
Islam menegaskan bahwa keadilan sosial bukan sekadar anjuran, tetapi kewajiban. Surah Al-Ma’un (Ayat 1-3) mengingatkan kita bahwa kesalehan tanpa kepedulian terhadap fakir miskin adalah bentuk kedustaan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Bagaimana kita bisa berbicara tentang kesalehan jika sistem ekonomi kita justru membiarkan rakyat lapar di bulan yang seharusnya penuh berkah?
Jika Ramadhan benar-benar ingin menjadi momentum perubahan, maka kita harus berani menggugat struktur yang menjadikan kemiskinan sebagai alat eksploitasi.
HAPUS SISTEM EKONOMI YANG BERPIHAK PADA SEGELINTIR ELIT DAN MERAMPAS HAK RAKYAT.
Pastikan kebijakan pangan dan kesejahteraan rakyat bukan hanya wacana, tetapi kebijakan nyata yang berdampak.
Gugat kapitalisasi kesalehan yang hanya menguntungkan korporasi, sementara kaum miskin tetap tertindas.
Ramadhan seharusnya tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi momen revolusi kesadaran.
Bukan sekadar soal ibadah personal, tetapi tentang perjuangan menegakkan keadilan yang selama ini diabaikan.
Ramadhan adalah bulan refleksi, keadilan, dan kepedulian sosial. Dalam Islam, zakat menjadi mekanisme distribusi kekayaan yang memastikan bahwa mereka yang kurang beruntung mendapatkan haknya dari harta yang beredar di masyarakat. Jika individu diwajibkan berzakat atas penghasilannya, mengapa negara tidak menjalankan prinsip serupa dengan membagikan dividen kepada rakyat dari hasil kekayaan alam, pajak, dan sumber pendapatan lainnya?
Negara seharusnya bukan sekadar pemungut pajak dan regulator, tetapi juga pengelola kekayaan bersama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Kekayaan alam, seperti tambang, minyak, gas, dan hasil bumi lainnya, bukanlah milik segelintir elite atau korporasi, melainkan milik rakyat yang berhak menikmati hasilnya.
Jika perusahaan membagikan dividen kepada pemegang saham atas keuntungan yang mereka peroleh, maka rakyat, sebagai “pemegang saham” terbesar negara, seharusnya juga mendapatkan bagian dari keuntungan negara.
Pajak yang dikumpulkan seharusnya bukan hanya untuk membiayai birokrasi, tetapi juga dikembalikan dalam bentuk kesejahteraan nyata: pendidikan gratis, layanan kesehatan berkualitas, infrastruktur yang merata, serta subsidi untuk kebutuhan dasar. Lebih dari itu, konsep dividen negara kepada rakyat bisa diwujudkan dalam bentuk bantuan langsung yang transparan, seperti yang telah diterapkan di beberapa negara kaya sumber daya alam.
Ketidakadilan ekonomi yang terjadi hari ini bukanlah akibat kurangnya kekayaan, tetapi karena distribusinya yang timpang. Kekayaan negara sering kali mengalir ke segelintir elite politik dan korporasi, sementara rakyat hanya menerima beban pajak dan kebijakan yang tidak berpihak. Jika negara benar-benar menerapkan keadilan sosial seperti yang terkandung dalam Pancasila, maka kekayaan negara harus kembali ke rakyat, bukan terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Maka, di bulan Ramadan yang penuh keberkahan ini, keadilan harus ditegakkan. Jika rakyat diwajibkan membayar pajak, maka negara juga wajib “berzakat” kepada rakyatnya dengan mendistribusikan hasil kekayaan negara secara adil. Negara tidak boleh menjadi “pengusaha rakus” yang hanya menuntut pemasukan tanpa memikirkan hak rakyat yang menjadi pemilik sejati negeri ini.
Oleh : Renaldi Davinci