Pelarangan pameran seni sering kali menjadi tanda bahwa ekspresi kreatif sedang berada di bawah ancaman. Kasus pelarangan pameran lukisan Yos Suprapto,seorang seniman yang dikenal melalui karya-karya dengan pesan sosial dan kritik dapat memicu pertanyaan serius, apakah ini mencerminkan kebangkitan kekuasaan otoritarian di Indonesia?
Kesenian adalah salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun, pelarangan ini menunjukkan adanya ketegangan antara kebebasan individu dan kepentingan otoritas tertentu. Jika tindakan pelarangan dilakukan tanpa dasar yang jelas atau sekadar untuk membungkam pandangan kritis, maka hal ini berpotensi menjadi sinyal kembalinya pola otoritarianisme yang berusaha mengontrol ruang publik, termasuk seni dan budaya.
Otoritarianisme modern sering kali tidak tampil secara langsung melalui kekerasan fisik, tetapi dengan cara-cara yang lebih subtil, seperti sensor, kriminalisasi opini, atau pelarangan aktivitas yang dianggap bertentangan dengan narasi resmi. Pelarangan pameran seni, seperti kasus Yos Suprapto, bisa menjadi contoh dari kontrol semacam ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa kritik terhadap kekuasaan meskipun dalam bentuk seni yang interpretatif masih dianggap sebagai ancaman.
Penting untuk dicermati, pelarangan semacam ini tidak hanya berdampak pada seniman yang bersangkutan tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi masyarakat secara keseluruhan. Jika dibiarkan, tindakan seperti ini bisa menciptakan efek jera (chilling effect) bagi seniman lain, yang akhirnya memilih untuk membungkam diri daripada menghadapi risiko. Dalam jangka panjang, ini dapat mempersempit ruang demokrasi dan mengikis keberagaman suara dalam diskursus publik.
Namun, sebelum menyimpulkan bahwa ini adalah tanda pasti dari kebangkitan kekuasaan otoritarian, kita juga perlu memahami konteks yang melatarbelakangi pelarangan tersebut. Apakah pelarangan ini didasarkan pada alasan hukum, etika, atau keamanan yang jelas? Atau apakah alasan yang diberikan hanya menjadi dalih untuk melindungi kepentingan pihak tertentu? Transparansi alasan dan proses yang menyertai pelarangan tersebut sangat penting untuk menghindari tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi masyarakat sipil untuk tetap waspada dan aktif memperjuangkan hak-hak demokratis, termasuk kebebasan berekspresi. Jika seni yang menjadi cerminan keresahan masyarakat tidak lagi diberi ruang, maka kita sedang menghadapi ancaman serius terhadap kehidupan demokrasi itu sendiri
Sebagai bangsa yang mendasarkan diri pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, Indonesia harus memastikan bahwa ruang ekspresi seni dan budaya tetap terbuka, bahkan untuk karya yang kontroversial sekalipun. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu menampung berbagai suara, termasuk kritik yang disampaikan melalui medium seni seperti karya Yos Suprapto.
Penulis : Ardinal Bandaro Putiah