Panggil Aku Perempuan

Penulis Tadbir
27 December 2022

Oleh: Dr. Nurrosida, S.P., M.P.*

Aku telah mengakuimu sebagai bagian dari hidupku, teman sejalan yang kuanggap bisa mendukung impian dan cita-citaku

Panggil aku perempuan. Bukan bunga. Karena itu hanya sekadar hiasan dan kumbang dapat menghisap wanginya lalu terbang sesuka hati. Bukan bulan, yang hanya terang diwaktu malam, lalu dengan semena-mena semua mahluk bisa melahap dan menelanjangi rupanya. Pun bukan dara, karena aku bukan burung yang dengan mudah disangkarkan.

Aku perempuan dewasa yang ingin menuangkan semua ide-ide hebat dalam pikiranku.

Panggil aku perempuan. Maka dengan sigap aku akan berpaling menatapmu, membalas sapamu, menghadiahkan senyum termanisku untukmu dan setia mendampingi hari-harimu, karena kau adalah laki-laki sejati yang kucintai untuk kebesaran jiwamu menghargai kehadiranku di sisimu.

Aku memang perempuan, sama seperti ibumu yang telah melahirkanmu ke dunia, yang mengajarimu mengenal orang lain, yang setiap minggu memasakkan makanan dan penganan-penganan kesukaanmu dan bapakmu.

Tetaplah memanggilku perempuan. Kendatipun aku tak selincah ibumu di dapur, tak bisa duduk berjam-jam didepan mesin jahit atau perapian untuk merajut sweater merah bagimu, seperti yang kujanjikan ketika ulangtahunmu dulu. Karena aku adalah perempuan wujud baru, yang tak lagi menabukan turun ke jalan, menjadi aktivis, ataupun berkarier sebagaimana bapakmu.

Aku ingin menjadi perempuan cerdas di sisimu, yang akan menjadi ibu pertiwi untuk calon-calon pemimpin bangsa di masa depan.

Kuharap kau tidak salah sangka, aku tak menganggap perempuan-perempuan sebelumku adalah mahluk kuno dengan rambut dikepang, sikap pasif dan malu-malu serta seumur hidupnya hanya seputar kasur, dapur dan sumur.

Sama sekali tidak!

Aku hanya mencoba mengembangkan fungsiku sebagai seorang perempuan. Menjadi partner laki-laki, mencoba sharing pendapat dengan kaummu dan bersamamu seiring sejalan mewujudkan negeri impian kita.

Semoga kamu tidak akan pernah menyesali lahirnya Kartini yang telah membantuku untuk bisa berdiri dengan bebas dengan tangan terkepal dan suara lantang berteriak, “Aku ingin menjadi bagian dari proses zaman”.

Aku tak ingin menjadi perempuan bodoh, yang hanya datang memohon perlindungan padamu tanpa pernah bisa berbuat lebih, karena sesungguhnya, aku memang merasa sanggup untuk itu. Aku berjanji padamu, kelak aku takkan melampaui batasan-batasan, seperti yang mungkin kau inginkan.

Takkan pernah lupa belajar memasak makanan kesukaanmu, menyiapkan pakaianmu, mengajar anak-anak kita mengaji, berdoa dan membaca, serta menjadikan suasana rumah seperti surga bagimu, tempatmu sejenak melupakan masalah yang mebebani ditempat kerjamu.

Hanya saja, aku akan melakukan sedikit penambalan pada kebocoran pemahaman tentang kaumku. Dalam mendidik anak-anak kita, aku akan menanamkan nilai-nilai demokratis, juga pentingnya mempelajari ilmu politik dan tata negara serta ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Aku ingin mereka tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang berpikiran merdeka, tidak hanya sibuk mempertentangkan kesetaraan gender (yang terkadang sebagian kaummu menjadikannya lelucon dan menganggap keinginan kaumku terlalu muluk-muluk), tetapi sadar akan tugas, fungsi serta peluang-peluang hidup masing-masing.

Mereka harus belajar mengaplikasikan teori, bukan sibuk membahas setiap hal yang masih sekadar tataran ide belaka. Karena sekali lagi kukatakan, aku ingin anak kita menjadi pemimpin di masa depan yang penuh tanggungjawab dan welas asih pada masyarakat kecil.

Ketika aku memilihmu sebagai orang terdekatku, saat itu aku menganggapmu bisa menghargaiku sebagai seorang perempuan, kekasih yang akan memberiku kebebasan mengaktualisasikan diriku. Aku memang mencintaimu, memilihmu dari sekian banyak laki-laki yang pernah menjadi temanku, karena aku percaya kau bisa mendukung impian dan cita-citaku itu.

Aku tak akan memandangmu lebih rendah hanya karena aku seorang per-EMPU-an. Jangan takut! Justru jika esok kau datang dengan segala keluhmu tentang hidup, aku tak akan tinggal diam, membiarkan kata-kata mengalir begitu saja dari bibirmu, membiarkan asap hitam rokokmu terhempas bulat-bulat ke wajahku dan mengganggu stabilitas kandunganku, lalu serta-merta membelaimu hingga tertidur di pangkuanku, sama seperti ibumu yang memanjakanmu sewaktu kecil.

Tidak! Aku akan meraih tanganmu, mematikan rokokmu, lalu mengajakmu bersama-sama membahas tentang problem-problem yang kamu hadapi serta mencari solusi terbaik.

Aku menerima apa adanya dirimu sebagai seorang laki-laki, namun kuingin kaupun berbesar hati melakukan keinginanku. Toh, tak akan mengurangi gengsimu di mataku —kalau memang itu yang kau sebut harga diri. Justru aku akan lebih menghargai dan mencintaimu. Karena aku berhak memperoleh yang lebih baik untuk setiap tetes keringat perjuanganku dan setiap patah aksara yang kulebur.

Dr. Nurrosida, S.P., M.P. Sekretaris COPMI Wilayah Sulsel Masa Jihad 2014 – 2018. Peneliti pada Loka Penelitian Penyakit Tungro Badan Litbang Kementerian Pertanian.

Bagikan