Kebocoran Negara Akibat Missinvoicing: Ancaman Besar bagi Ekonomi Indonesia

Penulis M. Khairul Huda
25 October 2025

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan sekaligus ancaman yang berat dalam merealisasikan Program Astacita dan Pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam memperbaiki sektor Penerimaan Negara serta meningkatkan Rasio Pajak demi mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%/th menuju Indonesia emas 2045. Kebocoran (Korupsi) besar tidak hanya terjadi pada APBN Indonesia namun yang lebih besar yang sering luput dari perhatian yaitu Kebocoran atau kehilangan dari sector Penerimaan Negara yang selama ini bertumpu pada sector Perpajakan dan Cukai. Salah satu kebocoran penerimaan Negara yang marak terjadi adalah Missinvoicing pada transaksi ekspor-impor komoditas unggulan Indonesia.

Analis dari Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra, menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membersihkan mafia pajak dan bea cukai merupakan kebijakan yang sangat tepat. Selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (2013–2024), praktik miss invoicing diduga marak terjadi hingga menyebabkan kebocoran penerimaan negara mencapai Rp1.000 triliun per tahun.

 

Apa Itu Missinvoicing dan Mengapa Marak di Indonesia?

Dalam perdagangan internasional, misinvoicing atau kesalahan penagihan (trade misinvoicing) merupakan praktik curang di mana nilai, volume, atau kualitas barang dalam invoice ekspor-impor dimanipulasi untuk menghindari pajak, royalti, atau bea cukai. Ada dua jenis utama: under-invoicing (penurunan nilai ekspor untuk mengurangi kewajiban pajak dan royalti di dalam negeri) dan over-invoicing (peningkatan nilai impor untuk mengurangi keuntungan yang dikenai pajak atau memanfaatkan subsidi). Praktik ini sering kali melibatkan kolusi antara eksportir/importir dengan mitra asing, memanfaatkan celah pengawasan.

Pada under invoicing, nilai transaksi dikecilkan agar beban pajak dan bea keluar berkurang. Sebaliknya, over invoicing dilakukan dengan membesar-besarkan nilai transaksi untuk mengakali arus dana keluar negeri.

Tujuannya sama, menghindari pajak dan menggerus penerimaan negara.

Di Indonesia, misinvoicing marak terjadi pada komoditas pertambangan (seperti batubara, timah, Nikel, tembaga dan Minyak bumi) serta perkebunan (seperti minyak sawit dan karet), yang menyumbang porsi besar ekspor non-migas. Selama 10 tahun terakhir (2015-2025), sektor ini rentan karena nilai ekspor tinggi, regulasi yang belum ketat, dan permintaan global yang fluktuatif. Menurut Global Financial Integrity (GFI), Indonesia kehilangan potensi pendapatan hingga US$6,5 miliar (sekitar Rp97 triliun) hanya pada 2016 akibat misinvoicing secara keseluruhan.  Estimasi kumulatif untuk periode serupa bisa mencapai ratusan triliun rupiah, meskipun dugaan angka 1.000 triliun per tahun yang sering disebutkan tampaknya merupakan perkiraan; data empiris menunjukkan kerugian tahunan rata-rata puluhan hingga ratusan triliun rupiah per sektor utama.

 

Bagaimana Missinvoicing Menyebabkan Kebocoran Penerimaan Negara?

​Under-invoicing Ekspor (Menurunkan Nilai Ekspor):

​Pajak Penghasilan (PPh): Jika nilai ekspor dilaporkan lebih rendah, pendapatan perusahaan pengekspor juga terlihat lebih rendah, yang berujung pada pembayaran PPh yang lebih kecil. ​Bea Keluar: Untuk komoditas tertentu yang dikenakan bea keluar, under-invoicing akan mengurangi dasar perhitungan bea keluar, sehingga penerimaan negara dari bea keluar berkurang. ​Devisa: Devisa yang masuk ke negara juga akan lebih kecil dari seharusnya, berpotensi merugikan cadangan devisa dan stabilitas ekonomi.

​Over-invoicing Impor (Meningkatkan Nilai Impor):

​Pajak Penghasilan (PPh): Perusahaan pengimpor dapat melaporkan biaya perolehan barang yang lebih tinggi, sehingga mengurangi laba yang dikenakan PPh. ​Bea Masuk: Peningkatan nilai impor, secara teori, akan meningkatkan bea masuk. Namun, over-invoicing impor lebih sering digunakan untuk tujuan pencucian uang atau transfer pricing yang tidak wajar daripada untuk menghindari bea masuk secara langsung (kecuali jika ada mekanisme insentif atau subsidi yang terkait dengan nilai impor tertentu). ​Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor: Meskipun nilai PPN impor akan lebih tinggi, PPN ini dapat dikreditkan oleh importir, sehingga dampaknya terhadap kas negara mungkin tidak sesignifikan jika dibandingkan dengan tujuan lain dari over-invoicing.

​Under-invoicing Impor (Menurunkan Nilai Impor):

​Bea Masuk: Ini adalah modus yang paling umum untuk menghindari bea masuk. Dengan melaporkan nilai barang lebih rendah, bea masuk yang harus dibayar menjadi lebih kecil. ​Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor: PPN impor juga akan lebih rendah karena dihitung berdasarkan nilai impor. ​Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) Impor: Pajak ini juga akan berkurang seiring dengan rendahnya nilai impor yang dilaporkan.

​Contoh Mekanisme dan Dampaknya:

​Bayangkan sebuah perusahaan mengimpor mesin dengan nilai sebenarnya $100.000. ​Jika terjadi under-invoicing menjadi $50.000: ​Pajak dan bea masuk (misalnya bea masuk 10%, PPN 11%, PPh 22 2.5%) akan dihitung dari $50.000, bukan $100.000. ​Penerimaan negara dari bea masuk, PPN, dan PPh 22 akan berkurang drastis. ​Perusahaan juga mungkin akan membayar lebih sedikit PPh atas laba karena biaya perolehan mesin terlihat lebih rendah (walaupun ini bisa menjadi bumerang jika mereka kemudian menjual mesin tersebut dengan harga tinggi). ​Jika terjadi over-invoicing menjadi $150.000 (misalnya untuk pencucian uang atau pengiriman dana keluar negeri): ​Bea masuk dan pajak akan dihitung dari $150.000. Penerimaan negara dari sini mungkin meningkat. ​Namun, perusahaan telah mengeluarkan $50.000 lebih banyak dari nilai sebenarnya ke luar negeri, yang bisa jadi merupakan keuntungan ilegal atau dana yang dicuci. Ini merugikan ekonomi negara dan dapat memicu investigasi.

 

Kasus Missinvoicing yang Marak: Fokus pada Pertambangan dan Perkebunan

Selama 2015-2025, misinvoicing di sektor pertambangan dan perkebunan menjadi sorotan utama karena kontribusi ekspornya yang mencapai 40-50% dari total ekspor Indonesia. Berdasarkan analisis data UN Comtrade oleh The Prakarsa, enam komoditas unggulan—termasuk batubara (pertambangan), minyak sawit dan karet (perkebunan), serta tembaga—mengalami aliran keuangan gelap (illicit financial flows/IFFs) sebesar US$142 miliar secara kumulatif hingga 2017, dengan tren meningkat di tahun-tahun berikutnya.  Untuk periode 2015-2017 saja, under-invoicing ekspor batubara mencapai US$2,66 miliar pada 2017, sementara minyak sawit mengalami inflows over-invoicing hingga US$6,32 miliar.

Kasus Pertambangan:

  • Batubara: Indonesia sebagai eksportir terbesar dunia mengalami under-invoicing signifikan, terutama ke India dan Malaysia. Pada 2017, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap indikasi kerugian Rp133 triliun dari ekspor batubara yang tidak dilaporkan selama 2012-2016, dengan under-invoicing mencapai 23,4% dari total ekspor.  Tren berlanjut hingga 2025, dengan lonjakan pada 2015-2017 akibat harga global rendah yang dimanfaatkan untuk manipulasi.
  • Timah: Presiden Prabowo Subianto pada 2025 menyatakan kerugian tahunan Rp40 triliun dari penyelundupan timah ilegal di Bangka Belitung, yang sering disamarkan melalui under-invoicing. Kumulatif 20 tahun (termasuk 2015-2025) mencapai Rp800 triliun, merusak royalti dan pajak.
  • Tembaga: Under-invoicing sebesar 3,3% ekspor (US$2,31 miliar hingga 2017), dengan kerugian royalti US$569 juta pada 2000-2017, tren menurun tapi tetap tinggi pada 2015.

Kasus Perkebunan:

  • Minyak Sawit: Sebagai komoditas ekspor terbesar, under-invoicing mencapai US$8,69 miliar (7,7% ekspor) hingga 2017, dengan inflows over-invoicing tertinggi di antara komoditas (US$40,47 miliar, 35,6%). Pada 2017, inflows dari China mencapai US$6,32 miliar, menyebabkan kebocoran pajak Rp13,25 triliun dari kasus ekspor CPO ilegal.  Tren 2015-2023 menunjukkan peningkatan karena permintaan Eropa dan Asia.
  • Karet: Under-invoicing US$5,35 miliar (6,2% ekspor), terutama ke Luksemburg dan Jepang, dengan lonjakan pada 2005-2015. Kerugian pajak US$1,46 miliar kumulatif.

Kasus-kasus ini sering terlibat dalam skema transfer pricing oleh multinasional, di mana keuntungan dipindahkan ke yurisdiksi pajak rendah seperti Singapura atau Belanda.

 

Betapa Besar Kerusakan yang Terjadi: Dampak Finansial, Ekonomi, dan Sosial

Kerugian dari misinvoicing bukan hanya nominal, tapi juga sistemik, menyebabkan kebocoran penerimaan negara yang krusial untuk pembangunan. Berdasarkan GFI, pada 2016 saja, misinvoicing menyebabkan hilangnya US$6,5 miliar pendapatan—setara 6% dari total penerimaan pemerintah—dengan breakdown: US$1,8 miliar pajak perusahaan dari ekspor under-invoicing dan US$2,1 miliar royalti.  Untuk enam komoditas utama, The Prakarsa estimasikan kerugian pajak US$11,1 miliar dan royalti US$2,96 miliar hingga 2017, dengan tren tahunan meningkat hingga US$897 juta pada 2017.  Ekstrapolasi untuk 2015-2025 (asumsi rata-rata US$1 miliar/tahun) bisa mencapai Rp1.500-2.000 triliun kumulatif, meskipun angka per tahun lebih realistis di kisaran Rp100-200 triliun.

Dampak Finansial:

  • Pajak dan Royalti: Hilangnya PPh badan (25-30%) dan royalti (4-13,5%) mengurangi APBN hingga 2-3% per tahun. Pada batubara, kerugian Rp133 triliun (2012-2016) setara dengan anggaran pendidikan nasional satu tahun.
  • Bea Cukai: Under-invoicing impor mengurangi bea masuk hingga US$302 juta pada 2016.

 

Dampak Ekonomi dan Sosial:

  • Kebocoran Pembangunan: Dana yang hilang seharusnya mendanai SDGs, seperti kesehatan (hilang US$1,2 miliar VAT) dan infrastruktur, memperburuk ketimpangan dan kemiskinan di daerah penghasil seperti Kalimantan dan Sumatera.
  • Lingkungan dan Sosial: Tambang ilegal timah merusak ekosistem Bangka Belitung, sementara perkebunan sawit ilegal berkontribusi deforestasi 1 juta hektar/tahun. Korupsi terkait IFFs mencapai Rp138 triliun/tahun dari judi online terkait, tapi misinvoicing lebih besar.
  • Stabilitas Ekonomi: Mereduksi cadangan devisa dan mendorong inflasi, dengan total IFFs Indonesia mencapai US$142 miliar untuk enam komoditas saja.

Secara keseluruhan, kerusakan ini seperti “pengkhianatan konstitusi” (Prabowo, 2025), di mana kekayaan alam rakyat bocor ke luar negeri.

 

Bagaimana Mengatasinya?: Langkah Konkret untuk Pencegahan Jangka Panjang

Untuk menghentikan misinvoicing, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan teknologi, regulasi, dan kerjasama internasional. Berikut rekomendasi berdasarkan studi GFI dan The Prakarsa:

  1. Penguatan Pengawasan Domestik:
  • Terapkan audit transfer pricing wajib oleh akuntan publik independen untuk transaksi ekspor-impor bernilai tinggi, fokus pada batubara dan sawit.  DJBC bisa gunakan AI untuk verifikasi invoice real-time terhadap data mitra dagang.
  • Harmonisasi data kepabeanan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui sistem digital terintegrasi, termasuk GFTrade untuk perbandingan harga historis.
  1. Reformasi Regulasi:
  • Kaji ulang insentif ekspor (tax holiday, pembebasan bea) yang dimanfaatkan untuk under-invoicing, serta tingkatkan sanksi: denda 25-1.000% dari bea cukai dan pidana hingga 20 tahun penjara.
  • Wajibkan beneficial ownership registry untuk perusahaan multinasional, sesuai rekomendasi FATF.
  1. Kerjasama Internasional:
  • Bangun mekanisme bilateral dengan mitra utama (India, China, Singapura) untuk pertukaran data ekspor-impor otomatis via AEOI (Automatic Exchange of Information).
  • Ikuti Addis Tax Initiative lebih agresif, termasuk public disclosure country-by-country reporting (CBCR) untuk transparansi.
  1. Kolaborasi Lintas Sektor:
  • Libatkan LSM dan akademisi dalam monitoring, seperti The Prakarsa, untuk audit independen.  Pemerintah bisa alokasikan 1% APBN untuk unit khusus anti-IFFs di Kementerian Keuangan.

 

Dengan implementasi ini, Indonesia bisa pulihkan Rp100-200 triliun/tahun pada setiap sektor, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan lindungi sumber daya alam untuk generasi mendatang. Pemerintahan dibawah Prabowo-Gibran punya momentum untuk aksi tegas, waktunya bertindak sebelum kebocoran ini semakin parah.

Bagikan