Oleh: Muhammad Kasman, S.E., M.Si., CFrA.
Malam mulai larut, namun diskusi yang ditingkahi gurau di rumah Bung Karno belum juga usai. Malam itu, 24 Januari 1946, kemerdekaan yang belum lagi setengah tahun menjadi tema perbualan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan K.H. Agus Salim. Mereka membahas, ke arah mana kemerdekaan yang baru lima bulan ini akan bermuara.
Di tengah diskusi, mereka dikagetkan oleh kemunculan seseorang yang tak pernah mereka bayangkan akan bertandang malam itu. Sosok itu mampu membuat suasana pertemuan yang sebelumnya berlimpah keguyuban, menjadi pembicaraan yang serba canggung menjurus tegang. Bagaimana tidak, yang hadir adalah Tan Malaka, sosok yang disegani oleh semua yang hadir, termasuk Sukarno.
Tanpa berpanjang kata bermanis cakap, Tan Malaka menambah likat pembicaraan dengan pernyataannya yang cukup menghentak suasana diskusi. Tak segan dan tanpa beban, Tan Malaka memaparkan pandangan-pandangannya soal kemerdekaan yang masih seumur jagung. Pria mungil dengan sapaan Ipie itu mengkritik keras pemikiran mereka yang hadir, perihal kemerdekaan.
Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan? Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Suara Tan Malaka yang lirih memantul-mantul di dinding, tanpa tanggap, semua terdiam.
Ipie memanfaatkan suasana, tanpa beban dia memandang Sukarno lalu berucap, “Hari ini aku datang kepadamu, wahai Sukarno sahabatku…. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen. Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka-cita menjadi ambtenaar….. Kemerdekaan hanyalah milik kalian, bukan milik rakyat.”
“Kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti merdeka, dan apabila kalian tidak segera memperbaikinya maka sampai kapanpun bangsa ini tidak akan pernah merdeka! Hanya para pemimpinnya yang akan mengalami kemerdekaan, karena hanya mereka adil makmur itu dirasakan. Suara Ipie terdengar kian lantang, tiada yang berani menawarkan gagasan lain.
Ipie kembali berujar pedas kepada semua yang hadir, tanpa tedeng aling-aling, “Dengarlah perlawananku ini….. Karena apabila kalian tetap bersikap seperti ini, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai seorang sahabat dan saudara. Esok, adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka 100 persen.
Temperatur pertemuan malam itu kian pekat, seirama malam yang merangkak, Ipie menyadari kehadirannya telah merusak suasana, maka dia segera pamit dan berlalu. Seiring bayangan Ipie yang lesap dalam gelap, mereka yang ditinggalkan pada termangu. Pertemuan berakhir dengan kalimat kesah dari Sukarno, Kata-katanya sungguh menghinaku, meremehkan semangat kerakyatanku!
Apa yang diungkap oleh Ipie memang menyinggung Sukarno demikian dalam, hingga dalam sebuah kesempatan, Bung Karno berteriak lantang, “Revolusi belum selesai, karena cita-cita kita adalah Sosialisme Indonesia!” Teriakan itu terlontar lantang, meski sekondannya, Bung Hatta telah mengguriskan dalam Demokrasi Kita, “Revolusi sudah selesai, saatnya distribusi kesejahteraan.”
Sejalan dengan Ipie, Tjokroaminoto, lelaki yang oleh Sukarno tak segan berkata Cerminku adalah Tjokroaminoto, menggunakan istilah Kemerdekaan sejati untuk mewakili gambaran kemerdekaan yang dia perjuangkan. Kemerdekaan yang bermuara pada kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan yang bercorak kerakyatan serta berideologi Islam dan Sosialisme atau dalam bahasa muridnya, Bung Karno, Sosialisme Indonesia.
Kemerdekaan bukan hanya soal merdeka dari penjajahan (kolonialisme dan imprealisme), kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan atau ‘merdeka dari’ (fight from). Merdeka juga harus bermakna merdeka untuk berbuat, berikhtiar dan berupaya serius untuk bertindak positif dalam mengisi kebebasan yang telah diraih, ‘merdeka untuk’ (fight for).
Dalam pemikiran Tjokroaminoto mengenai kemerdekaan, tersirat bahwa kemerdekaan tak hanya berhenti sekedarsebagai deklarasi, namun harus diturunkan pada tataran sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya. Harapan Ipie akan kemerdekaan untuk kemaslahatan bersama, bagi Tjorkroaminoto hanya bisa diwujudkan bila sistem politik negeri ini berbentuk demokrasi perwakilan yang sejalan dengan konsepsi syura dalam Islam.
Pada tataran ekonomi, kemerdekaan yang tidak elitis itu akan mengejawantah bila perekonomian disusun sebagai usaha bersama yang bertumpu pada prinsip dasar kekeluargaan dan kegotongroyongan sebagai alternatif atas perekonomian yang bersendi akumulasi modal ribawi. Selain itu, Tjokroaminoto menganjurkan pendirian serikat-serikat pekerja yang menjadi alat perjuangan mengatasi kekuatan kaum borjuis yang kapitalistik.
Sebagai orang yang sedari awal perjuangan rela menanggalkan hak istimewa seorang aristokrat dan ambtenaar sekaligus, Tjokroaminoto senantiasa mendorong kesederajatan dan kesetaraan di hadapan hukum. Dengan tegas, Tjokrominoto menyatakan menolak perbedaan derajat manusia baik karena perbedaan jenis kelamin atau status dalam rumah tangga), di dalam pergaulan hidup bersama dan di dalam hukum.
Di samping itu, pada tataran sosial budaya masyarakat, Tjokroaminoto mendorong penguatan soliditas sosial melalui prinsip kemerdekaaan, persamaan dan persaudaraan. Bahwa semua orang berada pada situasi merdeka dari dan merdeka untuk, kebebasan seseorang hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Rasa senasib sepenanggungan menjadi modal utama dalam menjalin solidaritas sebagai sesama anak bangsa.
Muhammad Kasman, S.E., M.Si., CFrA. Ketua DPW Syarikat Islam Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2023-2027