May Day dan Sejarah Perlawanan
Hari Buruh Internasional, atau yang dikenal sebagai May Day, bukanlah sekadar peringatan tahunan yang dipenuhi orasi dan panggung musik. Ia adalah monumen sejarah perjuangan kelas pekerja melawan ketidakadilan dan eksploitasi sistemik yang telah berlangsung sejak abad ke-19. Lahir dari tragedi Haymarket 1886 di Amerika Serikat, May Day merupakan warisan darah dan keringat para buruh yang menuntut hak dasar mereka—jam kerja manusiawi, upah layak, dan kondisi kerja yang adil.
Di Indonesia, makna May Day kerap direduksi menjadi ritual negara yang kehilangan semangat perjuangannya. Seringkali ia diisi dengan seremoni dan retorika yang tidak menyentuh akar persoalan buruh. Dalam konteks inilah, kehadiran Presiden Prabowo Subianto pada peringatan May Day 2025 menjadi sorotan penting: apakah ini titik balik atau sekadar simbolisme populis?
Prabowo di Panggung Buruh: Tanda Keberpihakan atau Panggung Kosmetik?
Kehadiran seorang Presiden dalam perayaan buruh seharusnya menjadi sinyal positif: pengakuan negara terhadap pentingnya peran pekerja dalam membangun peradaban. Namun pertanyaannya, apakah kehadiran itu diiringi dengan keberanian untuk membongkar ketimpangan yang membelenggu kaum buruh?
Prabowo adalah tokoh yang sepanjang karier politiknya lebih banyak dikaitkan dengan kekuatan militer dan nasionalisme konservatif, bukan perjuangan kelas pekerja. Maka, kemunculannya di forum buruh menimbulkan dua kemungkinan: pertama, sebagai bentuk legitimasi simbolik demi memperluas basis dukungan politik; atau kedua, sebagai sinyal awal keberpihakan negara terhadap perubahan struktural. Sayangnya, hingga hari ini, belum ada indikator yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa negara benar-benar bergerak menuju opsi kedua.
Duka Kaum Buruh: Upah Murah, Kerja Tak Pasti, dan Sistem yang Tak Adil
Realitas buruh di Indonesia masih suram. Upah minimum yang rendah, sistem kerja kontrak dan outsourcing yang eksploitatif, serta lemahnya perlindungan hukum adalah gambaran umum nasib pekerja. Omnibus Law—yang lahir dari rezim sebelumnya dan belum dicabut oleh pemerintahan saat ini—telah menjadi momok bagi kelas pekerja. Aturan itu memperkuat posisi pengusaha, melemahkan serikat buruh, dan menempatkan tenaga kerja sebagai komoditas, bukan manusia yang bermartabat.
Apakah Presiden Prabowo berani mencabut atau merevisi UU Cipta Kerja demi keadilan buruh? Apakah negara akan menciptakan sistem pengupahan yang menjamin kehidupan layak bagi pekerja dan keluarganya? Apakah akan ada langkah nyata untuk memperkuat posisi tawar buruh dalam relasi industrial? Tanpa langkah konkret ini, maka pidato dan kehadiran presiden hanyalah bagian dari panggung seremonial yang tidak menyentuh substansi.
Pemuda Muslimin Indonesia: Islam, Buruh, dan Keadilan Sosial
Sebagai kader Pemuda Muslimin Indonesia, saya percaya bahwa perjuangan buruh bukan hanya urusan ekonomi, tetapi bagian dari jihad sosial. Islam mengajarkan bahwa hak pekerja harus dibayar sebelum keringatnya mengering, bahwa manusia memiliki kehormatan, dan bahwa negara wajib menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Maka, sikap abai terhadap penderitaan buruh adalah bentuk kezaliman yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Gerakan buruh harus kembali diradikalisasi dalam makna yang sejati: bukan menjadi pelengkap kekuasaan, tetapi menjadi penggerak perubahan. Serikat buruh tidak boleh tunduk pada kekuatan modal atau elit politik, tetapi harus membangun kekuatan otonom yang berpihak pada kelas pekerja. Dan di sinilah Pemuda Muslimin Indonesia harus hadir: menjadi jembatan antara nilai Islam, perjuangan rakyat, dan visi bangsa yang adil dan berdaulat.
Dari Jalanan ke Kebijakan, Dari Panggung ke Perubahan
Peringatan Hari Buruh Internasional 2025 seharusnya menjadi momentum untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap arah pembangunan bangsa ini. Apakah negara hadir untuk melindungi buruh, atau justru menjadi bagian dari sistem yang mengeksploitasi mereka? Apakah kekuasaan digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial, atau sekadar mempercantik wajah kapitalisme?
Kehadiran Presiden Prabowo dalam May Day kali ini akan bernilai jika disusul dengan kebijakan nyata: revisi UU Cipta Kerja, perlindungan pekerja informal, jaminan sosial yang merata, dan sistem pengupahan berbasis keadilan. Jika tidak, maka sejarah akan mencatatnya hanya sebagai episode populisme lain dalam lakon panjang ketidakadilan sosial di negeri ini.
Kaum buruh harus tetap berjaga, bersatu, dan bergerak. Pemuda Muslimin Indonesia akan terus berdiri di barisan rakyat yang tertindas. Sebab perjuangan untuk keadilan adalah bagian dari iman, dan membela yang lemah adalah jalan menuju kemuliaan bangsa.
Oleh: Fajrul Huda
Pengurus Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Sumatera Barat