Oleh: Muhammad Asrul al Fatih, S.IP., M.Kom.
…”Mengapa mereka begitu mempersulit orang untuk belajar?” Suatu malam si anak bertanya pada orang inggris itu. “Supaya orang-orang yang punya tanggung jawab untuk mengerti, bisa mengerti”, sahut si orang inggris. “Bayangkan seandainya semua orang dengan seenaknya mengubah logam menjadi emas. Emas akan kehilangan nilainya”. Lanjutnya lagi.
Santiago, si penggembala domba yang mengambil jalan hidupnya untuk mengembara dari Spanyol menyeberang ke Mesir, atas suatu tujuan beroleh sebuah harta karun yang tertanam di dalam lumbung piramida. Sepertinya halnya seorang pengembara, Santiago berpapas dengan banyak macam dalam perjalanannya. Satu diantaranya adalah si Inggris, seorang mahasiswa yang menghabiskan waktu sepuluh tahunnya di universitas, dan akhirnya meninggalkan kampus untuk menemukan sang alkemis.
Santiago yang ingin mencari harta karung dan si Inggris yang hendak menemukan sang alkemis. Pada perjalanan kisah mereka menemukan apa yang dicari dalam satu pertautan, bahasa universal. Bahasa universal, bahasa yang dapat kita kenali meski tanpa kata. Ialah bahasa kemanusiaan, bahasa semesta.
Kisah Santiago yang pengembara dan si Inggris, bisa jadi buah renungan dengan apa yang ada di sekitar kita. Sang Alkemis, novel Paulo Coelho yang menjadi laris setelah sebelumnya mendapat penolakan untuk dicetak ulang, tentu tak dapat merampak kisah kehidupan kita di sini. Lebih-lebih Coelho yang ada di Brasil, dan kita yang jaraknya kurang lebih 17.729,71 kilometer dari kediamannya. Tapi Santiago dan si mahasiswa Inggris yang digambarkannya, boleh jadi mengusik perihal cara hidup kita.
Hidup kita di sini memang kontestasi intrik dan penaklukan, muaranya pada kekuasaan. Pengalaman keseharian kita menjadi pemandangan yang meyakinkan bahwa memang itu terjadi. Intrik dan penaklukan, diramu dalam bahasa para mereka yang buta mengubah logam menjadi emas. Emas yang mereka hasilkan tak lebih dari kuningan tipu yang merusak bahasa kemanusiaan, bahasa semesta.
Mungkin di antara kita, atau bisa jadi kita, ribut berbahasa tapi hanya boros kata. Pada letak ini, boleh jadi kena apa yang kita sebut bahwa bahasa tak lebih sebagai bahasa tanpa nilai. Bahasa yang telah begitu mudah diubah menjadi emas. Emas bisa jadi tak ternilai, demikian bahasa yang lepas dari refleksi tutur kita, apatah lagi jika bahasa memang selubung kepentingan pribadi dan kelompok.
Jelang pesta demokrasi, sepertinya akan kembali menghadirkan panggung bahasa yang tanpa nilai. Kata-kata akan menyeruak menghadirkan daya tipu. Bahasa akan ditebarkan tanpa maksud tanggung jawab sebab memang ia hadir untuk tidak dimengerti. Demikianlah bahasa sekali rampak, kemudian menjadi instrumen tindakan dan kekuasaan. Bahasa seolah menjadi air sekali timba, lalu ditumpahkan, tanpa perlu diperuntukkan pada yang semestinya.
Bagi mereka mungkin terlupa, bahwa emas yang digubah menjadi logam adalah hasil dari perjalanan melewati gurung tandus. Padang pasir yang jika malam menghembuskan angin, dan menebar terik di siang hari, keadaan yang memang mempersulit kita untuk belajar seperti kata Santiago. Mengubah logam menjadi emas sepertinya bukan kerja sim salabim maka jadilah. Hanya orang-orang yang teguh hati, dan bersedia belajar secara mendalam, bisa mencapai karya agung itu, sebuah karya yang bisa dinamakan “bahasa universal”.
***
Tingkah laku merupakan segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia. Lari, duduk, berpikir, berpendapat, berbicara merupakan sederet dari banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai perilaku. Soal tingkah laku tidak hanya berhubungan dengan manusia. Ada yang khas dengan perilaku manusia, yaitu perilaku berbahasa. Manusia dengan segala aktivitas bahasanya, dalam arti menggunakan simbol huruf dan ucapan, atau lazim dalam tulisan dan lisan. Bahasa menjadi penanda keberadaanku dalam hal berinteraksi dan bereksistensi.
Sebab bahasa menjadi penanda manusia ‘ada’, maka sepatutnyalah kita mengenal bahasa. Pengenalan bahasa dapat diperolah melalui pendekatan keluarga dan pendidikan. Oleh sebabnya, mulailah memaknai bahasa, mengenalkan anak, keluarga, dan peserta didik kita cara mengerti bahasa. Bahasa yang mengerti bagaimana menempa diri untuk mengubah logam menjadi emas. Emas yang bernilai, bahasa universal. Bahasa yang mempertautkan Santiago dan si Inggris.
Muhammad Asrul al Fatih, S.IP., M.Kom., Ketua Bidang Intelektual dan Seni Budaya PW Pemuda Muslimin Indonesia Prov. Sulsel 2014 – 2018